19 September 2013

Tentang Sumber Air dan Air

Pada suatu ketika, sekitar tahun 1247-an, seorang petani berusia 52 tahun bernama Paijo sedang gelisah tak karuan. Karena Paijo merupakan seorang petani yang rajin dan pekerja keras, dia tidak begitu saja menyerahkan nasibnya kepada keadaan.

Keesokan harinya Paijo memanggil isterinya, Juleha (49 tahun) beserta kedua anak-anaknya Tono (28 tahun) dan Jono (26 tahun) lalu berkata:

"Kemaslah barang-barang kalian, ambil secukupnya dan penuhkan dengan bekal makanan.
Kita akan pindah ke tempat lain, karena tanah di sini
sudah tidak bisa ditanami akibat kekeringan."

Menuruti kata-kata Paijo, mereka pun segera berkemas lalu bergerak untuk mencari daerah yang tidak kering.

Setelah berjalan sangat jauh, mereka pun lelah dan beristirahat. Persediaan air mereka pun sudah hampir habis. Lalu Paijo memerintahkan kepada anaknya yang bungsu, Jono untuk ikut bersamanya mencari sedikit air.

"Jono, ikutlah dengan ayah berkeliling di sekitar sini untuk
mencari sedikit air yang cukup untuk kita minum."

Jono pun mematuhi perintah ayahnya dan segera beranjak. Tidak jauh dari sana, Jono melihat ada aliran air yang keluar dari sela-sela bebatuan.



"Ayah, lihat di sana ada aliran kecil air!"

Jono dan Paijo pun menghampiri aliran air tersebut. Kemudian mereka menampung air tersebut dengan tangan dan meminumnya. Usai memuaskan dahaga, Jono kembali untuk menemui Ibu dan kakaknya Tono dan mengajak mereka untuk sama-sama minum dari air tersebut.

Setelah semuanya selesai menghilangkan rasa haus dan mengambil bekal air untuk di perjalanan nanti, Paijo pun mengajak mereka melanjutkan perjalanan.

Paijo: "Ayo, lekas kita lanjutkan perjalanan."

Jono: "Tapi, ayah... Mengapa kita tidak menetap di sini saja.
Bukankah di sini ada aliran mata air?"

Paijo: "Kamu ini bodoh atau idiot? Aliran air sekecil ini tidak akan cukup
untuk mengairi ladang yang besar.
Jangan harap kamu bisa menggarap ladang besar dari air ini."

Juleha: "Sudahlah, Jono. Turuti saja apa yang dikatakan ayahmu."

Tono: "Benar apa yang dikatakan ayah. Air di sini tidak akan cukup.
Lihat saja alirannya yang kecil itu, kencing kuda pun masih lebih deras! Hahahaha!"

Jono: "Tapi, ayah..."

Paijo: Tidak ada tapi-tapian! Kalau kamu tidak mau ikut, ya sudah!
Kamu akan kami tinggalkan di sini."

Singkat cerita, Paijo, Juleha, dan Tono pergi meninggalkan Jono yang bersikeras ingin menetap di sana. Saat itu juga, Jono membangun sebuah gubuk kecil dari rumput kering, ilalang, akar, dan kayu yang diperolehnya di sekitar sana. Cukup untuk tempat berteduh, gubuk itu berada di dekat sumber air tadi. Jono pun masuk ke dalam gubuknya untuk beristirahat lalu berdoa dan mengucap syukur kepada Tuhan.


Di sisi lain, Paijo, Juleha, dan Tono masih belum juga menemukan tempat yang cocok untuk menetap. Mereka masih mencari sebuah tempat yang punya banyak air untuk mengairi ladang besar impian mereka. Sampai suatu saat, mereka berhasil menemukan sebuah tempat dengan air yang lumayan banyak.


... mereka pun memutuskan untuk menetap dan mengerjakan ladang baru di sana. Di sisi lain, Jono yang menetap di tepi mata air tersebut kini telah selesai mengerjakan ladang kecilnya sendirian.


Melihat hal tersebut, Jono pun tersenyum puas dan merawat ladangnya dengan baik hari demi hari. Sedangkan, Paijo, Juleha, dan Tono sedang bahu-membahu mengerjakan ladang besar mereka. Dengan tenaga tiga orang, ladang besar mereka pun selesai dengan cepat.


Tidak terasa setahun pun berlalu. Ladang besar Paijo yang membutuhkan banyak air pun mulai terancam kekeringan. Persediaan air yang banyak mulai surut dan perlahan-lahan mengering.


Akhirnya mereka berkemas dan meninggalkan tanah kering tersebut. Teringat akan anak bungsunya yang bernama Jono, Paijo pun mengajak isterinya, Juleha dan anak sulungnya, Tono untuk mengunjungi Jono. Mereka pun kembali ke tempat di mana Jono ditinggalkan. Dari kejauhan, Paijo dapat melihat Jono sedang memanen hasil ladangnya.


Melihat ayah, ibu, dan abangnya datang berkunjung, Jono pun dengan sukacita menyambut mereka. Melihat keadaan Jono yang begitu bahagia, Paijo pun bertanya:

Paijo: "Hasil panenmu sangat bagus. Mengapa bisa demikian?"

Jono: "Saya merawat dan mengairi ladang saya setiap hari, ayah."

Paijo: "Ladang yang kami kerjakan sangat besar dan air yang tersedia juga cukup banyak.
Namun, air kami itu sudah kering dan ladang kami menjadi tandus.
Bagaimana mungkin mata air kecil di sini belum kering juga?"

Jono: "Walau kecil, mata air itu adalah sumber air yang tidak akan kering.
Sedangkan air yang mengairi ladang kalian merupakan kumpulan air hujan
yang sewaktu-waktu dapat habis di musim kemarau."

Sebelum mereka melanjutkan perbincangan, Jono mempersilahkan mereka istirahat dan menikmati hasil panennya. Tidak hanya itu, Jono pun menawarkan mereka untuk menentap di sana.

Jono: "Ayah, bagaimana kalau ayah, ibu, dan bang Tono menetap saja di sini.
Kita berempat bisa mengerjakan ladang yang besar bersama-sama."

Paijo: "Ladang yang besar? Bagaimana bisa
mengerjakan ladang yang besar dengan mata air kecil itu?"

Jono: "Mari ikut denganku, ayah."

Paijo pun mengikuti Jono ke arah mata air kecil tersebut, kemudian Jono mengangkat sebuah batu yang lumayan besar dan melemparkannya ke arah mata air kecil tersebut. Apa yang terjadi kemudian sungguh membuat Paijo terheran-heran. Air kecil yang mengalir dari bebatuan itu menjadi semakin deras seiring dengan pecahnya bebatuan di sekitarnya.

Jono: "Air ini bisa menjadi lebih besar lagi jika batu di sekitarnya kita pecahkan dan gali."



Mendengar hal tersebut, Paijo pun setuju untuk menetap di sana. Mereka mengerjakan ladang Jono yang kecil menjadi semakin besar. Gubuk kecil Jono pun diperbesar agar nyaman ditinggali mereka berempat.


Dan yang terpenting, sumber air dari mata air tersebut juga semakin berkelimpahan.


Pesan moral dari perumpamaan di atas adalah ..............